Category: | Books |
Genre: | Biographies & Memoirs |
Author: | Matu Mona |
Bisa jadi nggak banyak yang tau siapa Matu Mona di jagad kesusastraan Indonesia. Nama itu tertutup karena tulisannya lebih pada tokoh-tokoh marjinal yang terpinggirkan dan hanya dianggap nomer dua.
Nomer dua tidak akan pernah diperhitungkan, karena nomer dua bukan yang utama. Lihat Jusuf Kalla, saat ia menjabat wakil presiden, tak banyak dikenal aksi dan polahnya, tapi begitu ia tak lagi menjabat, orang justru berkaca bahwa kesuksesan SBY banyak bersinggungan dengan peran pentingnya. Lihat Bung Hatta, perannya sebagai ekonom selain wakil presiden, tak banyak ditengok dan dilihat, meski pemikirannya tentang ekonomi kerakyatan kini justru dilirik-lirik banyak pihak karena banyak yang muntah dengan liberalisasi ekonomi.
Lihat juga Tan Malaka, aktivis pejuang nasionalis Indonesia yang sempat terpinggirkan karena berseberangan dengan Bung Karno. Pendiri partai Murba ini sampai terusir dari Indonesia, ditangkap berkali-kali hingga kematiannya yang misterius. Padahal Mohammad Yamin pernah menulis "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia", di mana pendirian negara ini tidak melulu terpusat pada Bung Karno dan Bung Hatta saja, sebagaimana Jefferson Washington yang merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai.
Sisi gelap ini yang diangkat oleh Matu Mona dalam bukunya, Pacar Merah Indonesia. Ditulis tahun 1934 dan terbit pertama dengan judul Spionage-Dienst: Patjar Merah Indonesia, diterbitkan oleh Centrale-Courant en boekhandel, di Medan, Maret 1938. Novel sejarah yang dibungkus dengan kisah spionase, tindakan kepahlawanan, pengkhianatan, peristiwa misterius, bahkan percintaan.
Mengkisahkan cerita buronan polisi rahasia kolonial, di mana tokoh utama ceritanya, Pacar Merah, adalah julukan untuk Tan Malaka yang dianggap sebagai tokoh misterius pergerakan Indonesia Merdeka. Lucunya, buku keduanya justru beredar di negeri kincir angin dan penerbit Beranda mendapatkannya lewat KTLV di Leiden Belanda sebagai karya sastra yang patut diperhitungkan, bukan di Indonesia sebagai negara asalnya. Beberapa waktu dekat, buku keduanya segera diterbitkan.
Penulisnya Matu Mona, bernama asli Hasbullah Parinduri. Lahir di Medan, Sumatera Utara, tanggal 21 Juni 1910. Memiliki latar belakang pendidikan St. Anthony’s Boys School Medan. Setelah lulus, di tahun 1930, ia menjadi guru bantu di sekolah tersebut.
Beragam profesi pernah digeluti;
Nomer dua tidak akan pernah diperhitungkan, karena nomer dua bukan yang utama. Lihat Jusuf Kalla, saat ia menjabat wakil presiden, tak banyak dikenal aksi dan polahnya, tapi begitu ia tak lagi menjabat, orang justru berkaca bahwa kesuksesan SBY banyak bersinggungan dengan peran pentingnya. Lihat Bung Hatta, perannya sebagai ekonom selain wakil presiden, tak banyak ditengok dan dilihat, meski pemikirannya tentang ekonomi kerakyatan kini justru dilirik-lirik banyak pihak karena banyak yang muntah dengan liberalisasi ekonomi.
Lihat juga Tan Malaka, aktivis pejuang nasionalis Indonesia yang sempat terpinggirkan karena berseberangan dengan Bung Karno. Pendiri partai Murba ini sampai terusir dari Indonesia, ditangkap berkali-kali hingga kematiannya yang misterius. Padahal Mohammad Yamin pernah menulis "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia", di mana pendirian negara ini tidak melulu terpusat pada Bung Karno dan Bung Hatta saja, sebagaimana Jefferson Washington yang merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai.
Sisi gelap ini yang diangkat oleh Matu Mona dalam bukunya, Pacar Merah Indonesia. Ditulis tahun 1934 dan terbit pertama dengan judul Spionage-Dienst: Patjar Merah Indonesia, diterbitkan oleh Centrale-Courant en boekhandel, di Medan, Maret 1938. Novel sejarah yang dibungkus dengan kisah spionase, tindakan kepahlawanan, pengkhianatan, peristiwa misterius, bahkan percintaan.
Mengkisahkan cerita buronan polisi rahasia kolonial, di mana tokoh utama ceritanya, Pacar Merah, adalah julukan untuk Tan Malaka yang dianggap sebagai tokoh misterius pergerakan Indonesia Merdeka. Lucunya, buku keduanya justru beredar di negeri kincir angin dan penerbit Beranda mendapatkannya lewat KTLV di Leiden Belanda sebagai karya sastra yang patut diperhitungkan, bukan di Indonesia sebagai negara asalnya. Beberapa waktu dekat, buku keduanya segera diterbitkan.
Penulisnya Matu Mona, bernama asli Hasbullah Parinduri. Lahir di Medan, Sumatera Utara, tanggal 21 Juni 1910. Memiliki latar belakang pendidikan St. Anthony’s Boys School Medan. Setelah lulus, di tahun 1930, ia menjadi guru bantu di sekolah tersebut.
Beragam profesi pernah digeluti;
- Wartawan koran Pewarta Deli (1931-1938)
- Pemimpin Mingguan Penyebar (1941)
- Pembantu Panji Pustaka (1943),
- Pendiri Koran Perjuangan Rakyat di Garut (1946)
- Pemimpin Harian Tegas di Banda Aceh (1950-1953)
- Pemimpin Mingguan Penyebar di Medan (1954-1959)
- Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Selecta di Jakarta (1960-1987)
Matu Mona meninggal di Jakarta pada tanggal 8 Juli 1987 di usia 77 tahun.
Buku Pacar Merah Indonesia kini diterbitkan lagi sejak tahun 2001 dan Februari 2010 kemarin dicetak ulang. Adapun yang gigih membongkar-bongkar semua karya-karya Matu Mona adalah Pandu Dirgantara, cucu langsung dari Matu Mona yang memang jebolan Sejarah Unpad. Banyak karya Matu Mona yang harusnya mengisi khazanah kesusastraan Indonesia. Berhubung konteks yang disebutkan di atas tadi, karya itu sempat terkubur karena rezim tertentu.
Sementara ibunya, Rita Matu Mona, aktif di Teater Koma dan mengajari kegemblungan teater.dan ternyata saya juga termasuk cucu dari beliau Ahmad Fariz Has Parinduri anak dari Dalian Parinduri anak ke-3 dari Matu Mona.
Buku Pacar Merah Indonesia kini diterbitkan lagi sejak tahun 2001 dan Februari 2010 kemarin dicetak ulang. Adapun yang gigih membongkar-bongkar semua karya-karya Matu Mona adalah Pandu Dirgantara, cucu langsung dari Matu Mona yang memang jebolan Sejarah Unpad. Banyak karya Matu Mona yang harusnya mengisi khazanah kesusastraan Indonesia. Berhubung konteks yang disebutkan di atas tadi, karya itu sempat terkubur karena rezim tertentu.
Sementara ibunya, Rita Matu Mona, aktif di Teater Koma dan mengajari kegemblungan teater.dan ternyata saya juga termasuk cucu dari beliau Ahmad Fariz Has Parinduri anak dari Dalian Parinduri anak ke-3 dari Matu Mona.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar