Dasar
hukum koperasi sebagai sebuah badan usaha terdapat dalam UU Nomor 25
Tahun 1992 tentang Perkoperasian (UU Koperasi) dan berbagai peraturan
pelaksananya. Dalam UU ini, koperasi didefinisikan sebagai badan usaha
yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi yang
melandaskan kegiatannya pada prinsip koperasi, sekaligus sebagai gerakan
ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Terkait
koperasi sebagai badan usaha, Hatta (1933) menegaskan rakyat sebagai
produsen-produsen kecil harus bergabung membentuk koperasi (produksi).
Dengan cara ini, teknik baru dalam bidang produksi lebih mungkin untuk
dikuasai daripada dilakukan secara terpisah-pisah. Usaha bersama akan
membangkitkan skala ekonomi dan meningkatkan produktivitas. Dengan
kekuatan ini, koperasi akan mampu mempengaruhi pasar.
Dari
pendapat Hatta ini, dapat disimpulkan bahwa koperasi sebagai badan usaha
sebenarnya tidak anti-pasar. Untuk dapat berkompetisi dalam pasar,
koperasi sebagai badan usaha harus mampu membaca potensi anggota,
mengkoordinasikan segala sumberdaya yang ada, dan memetakan peluang
usaha untuk memproduksi barang atau jasa secara mandiri. Pilihan
terhadap peluang usaha pertama-tama harus didasarkan pada kepentingan
ekonomi bersama anggotanya. Misalnya, jika sekelompok peternak sapi
ingin mendirikan koperasi, maka yang paling sesuai dengan kepentingan
ekonomi mereka adalah usaha penjualan atau pengolahan susu sapi. Dalam
konteks ini, koperasi harus tunduk pada kaidah, prinsip dan logika
entitas bisnis, di mana prinsip manajemen yang profesional dan prinsip
keuangan yang baik harus menjadi landasan utama.
Bila dikaitkan
kembali koperasi sebagai sebuah badan usaha dengan pertanyaan yang
diajukan oleh mahasiswa tadi, sebahagian besar koperasi dalam perjalanan
sejarah tidak tumbuh secara profesional dan mandiri. Kegagalan negara
menciptakan sistem ekonomi koperasi tentu turut mempengaruhi
perkembangan koperasi sebagai badan usaha. Semangat kerjasama koperasi
digilas oleh budaya pragmatisme yang tumbuh subur dalam 'ideologi'
persaingan. Selain itu, keterlibatan pemerintah selama ini lebih
mengintervensi bentuk kelembagaan koperasi daripada membantu
menyelesaikan permasalahan utama koperasi, antara lain, akses pada modal
dan pasar. Sepak-terjang Koperasi Unit Desa (KUD) selama Orde Baru
membuktikan betapa koperasi lebih ditempatkan sebagai entitas politik
daripada bisnis. Selain permasalahan eksternal ini, secara internal
banyak pengurus koperasi dalam perkembangannya lebih tertarik mengurus
usaha atau unit simpan-pinjam daripada menciptakan usaha produktif.
***
Akhirnya,
belajar mengenai perseroan terbatas maupun bentuk-bentuk organisasi
perusahaan lainnya -terutama dalam alam pikiran dewasa ini di mana
logika kapitalistik liberal sudah merupakan keniscayaan- kiranya tidak
memerlukan pengantar panjang-lebar mengenai 'dasar-dasar ideologis dan
filosofis' bagi berbagai pemahaman dan pengertian yang terkandung di
dalamnya. Hal ini jugalah yang membuat tugas (pembelajaran) hukum
koperasi Indonesia menjadi semakin berat. Sebelum memulai dengan bahasan
mengenai apa-dan-bagaimananya koperasi berfungsi sebagai sebuah
organisasi perusahaan, pembelajar harus susah-payah menjawab serentetan
pertanyaan terkait mengapa 'koperasi' sebagai gagasan dan kenyataan
harus muncul dalam perjalanan sejarah peradaban manusia. Akan tetapi,
selama UUD 1945 Pasal 33 ayat 1 sampai 3 masih ada seperti sedia-kala,
sampai kapan pun memang itulah yang harus dikerjakan; karena, seperti
yang telah dipesankan oleh perancangnya sendiri, Hatta, "cita-cita
koperasi Indonesia adalah tantangan fundamental terhadap kapitalisme
liberal!"
Dalam pengertian yang amat umum, ide adalah suatu cita-cita yang ingin
dicapai. Cita-cita berkoperasi juga tumbuh dan berkembang dari berbagai
ide yang melandasinya. Ide berkoperasi, telah berkembang jauh sebelum
koperasi itu sendiri berwujud sebagai koperasi. Ide yang berasal dari
berbagai pandangan itu kemudian melebur ke dalam prinsip-prinsip,
asasasas,atau sendi-sendi dasar koperasi.